Karsinoma
nasofaring (KNF) adalah keganasan yang berasal dari epitel atau mukosa dan
kripta yang melapisi permukaan nasofaring. Di Indonesia maupun di
Asia Tenggara, KNF dilaporkan sebagai tumor paling sering ditemukan diantara
keganasan di daerah kepala dan leher. Di Indonesia, menempati urutan ke-4
diantara keganasan yang terdapat di seluruh tubuh. Santosa (1988) mendapatkan
jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di
Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 – 1976)
diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan
127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002.
Berdasarkan klasifikasi histopatologi, KNF dibagi menjadi
WHO1, WHO2 dan WHO3. WHO1 adalah karsinoma sel skuamosa dengan
keratinisasi, WHO2 gambaran histologinya karsinoma tidak berkeratin dengan
sebagian sel berdiferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang lebih
kearah diferensiasi baik. WHO3 adalah karsinoma yang sangat heterogen, sel
ganas membentuk sinsitial dengan batas sel tidak jelas. Jenis KNF yang banyak
dijumpai adalah WHO2 dan WHO3. Di bagian THT Semarang mendapatkan 112 WHO2 dan
WHO3 dari 127 kasus KNF.
KNF
dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita di bawah
usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 – 54 tahun. Laki-laki lebih
banyak dari wanita dengan perbandingan antara 2 – 3 : 1.
Sampai
sekarang etiologi KNF belumlah jelas benar, akan tetapi virus Epstein-Barr
(EBV) dinyatakan sebagai etiologi utama penyebab KNF dan
faktor lain seperti genetik serta lingkungan yang mengandung bahan karsinogenik
dinyatakan sebagai faktor pendukung. EBV hampir dapat dipastikan sebagai
penyebab KNF, namun kenyataannya tidak semua individu yang terinfeksi EBV akan
berkembang menjadi KNF. Menurut hasil penelitian menyatakan faktor pendukung
seperti lingkungan, genetik sangat menentukan timbulnya KNF.
Sistem klasifikasi stadium KNF yang dipakai saat ini ada beberapa macam antara lain menurut UICC, AJCC atau sistem Ho. Pada tahun 1997 AJCC dan UICC mengeluarkan sistem klasifikasi stadium terbaru yaitu edisi ke-5, menggantikan edisi ke-4 (1988).
Berikut ini adalah sistem klasifikasi stadium menurut
AJCC/UICC 1997 :
Stadium T (ukuran/luas tumor):
T0 Tak ada kanker di lokasi
primer
T1 Tumor terletak/terbatas di
daerah nasofaring
T2 Tumor meluas ke jaringan
lunak oraofaring dan atau ke kavum nasi.
T2a Tanpa perluasan ke ruang
parafaring
T2b Dengan perluasan ke parafaring
T3 Tumor menyeberang
struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 Tumor meluas ke intrakranial, dan/atau
melibatkan syaraf kranial, hipofaring, fossa infratemporal atau orbita.
Limfonodi regional (N) :
N0 Tidak ada
metastasis ke limfonodi regional
N1 Metastasis
unilateral dengan nodus < 6 cm diatas fossa supraklavikula
N2 Metastasis
bilateral dengan nodus < 6 cm, diatas fossa supraklavikula
N3 Metastasis
nodus : N3a 6 cm & N3b meluas
sampai ke fossa supraklavikula
Metastasis jauh (M) :
M0 Tak ada
metastasis jauh
M1 Metastasis jauh
Pembagian stadium berdasarkan klasifikasi TNMnya disusun
sebagai berikut seperti pada tabel 2 berikut ini :
Tabel
2 Stadium KNF
T1
|
T2a
|
T2b
|
T3
|
T4
|
|
N0
|
I
|
IIA
|
IIB
|
III
|
IVA
|
N1
|
IIB
|
IIB
|
IIB
|
III
|
IVA
|
N2
|
III
|
III
|
III
|
III
|
IVA
|
N3
|
IVB
|
IVB
|
IVB
|
IVB
|
IVB
|
M1
|
IVB
|
IVB
|
IVB
|
IVB
|
IVB
|
Penderita KNF umumnya (60 – 90%) datang berobat di klinik sudah stadium lanjut dengan gejala penyebaran diluar nasofaring. Tumor primer di nasofaring sudah T3 atau T4 jarang dengan T1 atau T2. Gejala klinik meliputi gejala hidung dan telinga, saraf dan gejala dari penyebaran tumor ke kelenjar limfe serfikal. Gejala hidung berupa ingus campur darah berulang biasanya sedikit bercampur ingus kental, kadang-kadang ada sumbatan hidung dan suara sengau. Gejala telinga adalah rasa penuh tak enak, kadang tuli akibat oklusi tuba Eustachi, atau otitis media serosa. Tumor meluas ke intra kranial melalui foramen laserum menimbulkan kerusakan pada grup anterior yaitu saraf III, IV, VI yang disusul saraf V bila melewati foramen ovale yang menyebabkan pandangan diplopi. Kerusakan saraf ke V menyebabkan neuralgia trigeminal. Penjalaran ke foramen jugulare mengenai sekumpulan saraf otak yaitu saraf IX sampai saraf XII serta saraf simpatikus leher yang menuju ke orbita. Tjegeg mendapatkan kelainan neurologik antara 29 – 53%. Metastasis ke kelenjar getah bening leher profunda sering dijumpai, yaitu sekitar 60 – 93% dan dapat dijumpai unilateral, kontra lateral atau sering kali bilateral.
Diagnosis klinis didasarkan pada hasil
anamnesis, gejala klinis tumor dan kelainan di nasofaring. Perubahan
mukosa nasofaring mudah dinilai dengan menggunakan endoskop. Tampak
jelas perubahan berupa penonjolan mukosa, peradangan, ulseratif disertai perdarahan
ringan. Pemeriksaan radiologis CT scan(computerized tomographic
scanning) atau magnitic resonance imaging (MRI) merupakan
pemeriksaan yang lebih informatif terhadap kelainan nasofaring. Diagnosis
histopatologi spesimen biopsi nasofaring dengan mikroskop cahaya maupun
mikroskop elektron merupakan standard baku emas untuk menegakkan diagnosis.
Terapi radiasi KNF
Terapi radiasi KNF
Sampai saat ini
radioterapi masih merupakan pilihan utama pengobatan KNF. Pertimbangan
pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan utama didasarkan pada dua
pertimbangan yaitu pertama bahwa secara histopatologi kebanyakan KNF
75%-95% dari jenis karsinoma undifferentiated (WHO3) dan karsinoma
non keratinisasi (WHO2) yang tergolong radioresponsif apalagi pada stadium
awal, kedua karena letak KNF yang sulit dicapai
melalaui metoda pembedahan. KNF juga cenderung menginfiltrasi jaringan sekitar
sehingga operasi yang bersih dengan prinsip operasi luas (wide excision) sulit
dilaksanakan.Radioterapi pada pengobatan KNF dilakukan dengan dua cara yaitu
radiasi eksternal dan radiasi internal (brakiterapi). Brakiterapi adalah suatu
metode penyinaran langsung ke daerah nasofaring dengan jalan memasukkan suatu
alat berupa implan intertisial atau inserasi intrakavitas secara temporal pada
ruang nasofaring.
Pengobatan KNF dengan radiasi menggunakan sinar gama untuk mematikan atau
menghilangkan (eradikasi) seluruh sel kanker yang ada di nasofaring dan
metastasisnya di kelenjar getah bening leher. Radiasi eksternal diberikan
secara homogen pada daerah nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri
media, dasar tengkorak, koana dan daerah parafaring sepertiga leher bagian
atas. Radiasi diberikan dari arah lateral kanan dan kiri serta ditambah dari
arah depan bila ada perluasan tumor ke hidung dan sekitarnya.
Radiasi
dengan pesawat Co60 yang memancarkan sinar g (gama) diberikan beberapa
kali dengan dosis terbagi (fraksinasi), yaitu radiasi dosis 200 cGy setiap
fraksi pemberian 5 kali seminggu selama 6–7,5 minggu. Dosis yang dibutuhkan
untuk eradikasi tumor tergantung dari banyaknya sel kanker (besarnya tumor).
Tumor yang masih dini (T1 dan T2) dapat diberikan radiasi menggunakan Cobalt 60
dengan dosis sebesar 200 – 220 cGy per fraksi, 5 kali seminggu tanpa
istirahat mencapai dosis total 6000 – 6600 cGy dalam 6 minggu. Sedangkan
untuk KNF dengan ukuran tumor yang lebih besar (T3 dan T4) dianjurkan diberikan
dosis total radiasi pada tumor primer di nasofaring yang lebih tinggi yaitu
7000 – 7500 cGy.
Selain
radiasi eksternal, booster dapat diberikan bila masih didapatkan
residu tumor dengan area diperkecil hanya pada tumornya saja sebesar
1000 – 1500 cGy sehingga mencapai dosis total 7500 – 8000 cGy. Booster ini
umumnya diberikan dengan cara radiasi internal (brakiterapi).
Respons radioterapi KNF
Sudah sejak lama kita
ketahui bahwa pengukuran keberhasilan suatu terapi di bidang onkologi adalah
dengan menilai angka respon tumor (tumor respone rate), kemampuan hidup bebas
penyakit (disease free survival) dan angka kemampuan hidup keseluruhan (overall
survival). Penilaian respons tumor terhadap terapi radiasi yang diberikan
dianjurkan untuk dilakukan minimal 4 – 6 minggu pasca terapi (WHO Offset
Publication No. 48 tahun 1979, dikutip Affandi,
1992). Meskipun
sering kali didapatkan regresi tumor yang cepat sebagai respons radioterapi,
namun dilaporkan sering kali juga mengalami kekambuhan. Respon tumor
KNF pada radioterapi bervariasi, rata-rata respons secara
keseluruhan berkisar antara 25% – 65%. Kegagalan kontrol lokal (local failure)
pada radioterapi KNF stadium lanjut sangat tinggi sekitar 50% – 80%. Dengan
radioterapi kemampuan hidup keseluruhan (overall survival) pasien
KNF berkisar 50%. Angka kemampuan hidup 5 tahun (5-years survival rate)
pada stadium awal berkisar antara 50-90%, sedangkan untuk stadium lanjut
(stadium III dan IV) angka kemampuan hidup 5 tahun berkisar
17-60%. Menurut Hussey tindakan biopsi pasca radioterapi untuk memastikan
residu tumor secara histopatologi dapat meningkatkan risiko radionekrosis pada
re-radiasi. Atas dasar pertimbangan ini maka tindakan biopsi nasofaring pasca
radioterapi pada KNF dengan indeks mitosis tinggi atau tumbuh progresif
sebaiknya hanya dilakukan bila tampak nyata adanya masa tumor di nasofaring.
Sedangkan untuk KNF dengan pertumbuhan yang lambat, bila tidak dijumpai tumor
residif atau gejala klinis yang nyata dianjurkan melakukan biopsi
setelah 10 – 12 minggu.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi respons KNF terhadap radiasi antara lain keadaan umum, kadar
Hb, sistem imun, biologi tumor, derajat diferensiasi, jenis histopatologi dan
dosis. Keadaan umum pada saat menjalani radioterapi menentukan
respons sel terhadap radiasi. Kadar hemoglobin yang rendah mempengaruhi
oksigenasi sel kanker. Sel kanker yang hipoksik lebih radioresisten. Hal
ini akan menurunkan prognosis penderita. Status imunologi CMI (cell
mediated immunity) dilaporkan mempengaruhi respons KNF terhadap
radioterapi. Penderita dengan respons imun seluler rendah sebelum
radioterapi dan tetap rendah pasca terapi mempunyai prognosis jelek.
No comments:
Post a Comment