Tuesday, December 16, 2008

MySTORY : My First House Trailer (may be there is will be the second...)

Ayahku sempat di tugaskan disebuah kawasan pertambangan di daerah Tanjung Balai Karimun, tepatnya di kawasan pertambangan batu granit. Sirine tanda bahaya adalah lagu merdu yang setiap hari harus kami dengar. Disinilah rumah keduaku, yaitu sebuah rumah mobil, house trailer meminjam istilah Paman Sam. Tak terbayangkan bagaimana aku bisa menikmati kehidupanku pada waktu itu. Sekarang saja dua jam berada di dalam mobil travel menuju Bandung terasa sangat melelahkan bagiku. Tentu saja tak banyak yang bisa aku lakukan disini, berenang dengan menggunakan ban mobil sebagai pelampungku atau sekedar bermain dipantai berpasir putih itu atau memanjati batu-batu granit hitam nan anggun menjulang tinggi atau sesekali berlari-larian dikejar anjing kampung yang berkeliaran adalah hiburanku pada waktu itu. Tapi untuk anak seusil aku hidup di lokasi seperti ini tak meyurutkan semangatku untuk menemukan tantangan-tantangan baru. Pernah aku menangkap ular yang dalam sangkaanku hanyalah seekor cacing. Semua orang berteriak histeris meliat cacing besar itu. Ehm... tak terlalu besar... sekitar 30 cm panjangnya. Aku hanya bisa menyengir garing melihat tangkapanku di lemparkan ke dalam wc dan di siram air panas oleh ayahku. Semua orang panik dengan temuanku. Berharap-harap cemas semoga ular itu hanya sebatang kara. Bahkan pernah juga aku begitu suka citanya menemukan setumpukan buah berwarna hitam sebesar biji kelereng yang mirip dengan buah berry. Aku pun mengumpulkannya dengan bajuku berharap jagan sampai ada yang terlewatkan olehku tapi ternyata yang ku sangka buah berry itu hanyalah setumpukan kotoran kambing. Ibuku berteriak antara marah dan ingin tertawa melihat kebodohanku. Ibuku selalu bilang aku seperti cacing kepanasan saking tak bisa berdiam diri sedetikpun.


"oh may... oh may... terkenang indahnya masa kecil itu..."

Monday, December 15, 2008

Hanya ingin tapi tak untuk memiliki...

Hayalanku seketika melayang jauh. Eforia kenangan manis masa kecil itu kembali menguasai pikiran dan jiwaku. Entah mengapa perasaan tak menentu ini bisa hadir tanpa di undang hanya dengan membayangkan seorang teman masa lalu dari pulau terpencil itu. Apakah tutur katamu yang melenakanku? Ataukah candamu yang selalu menggelitik hatiku? Mungkin ketulusanmu mendengarkan keluhku yang membuatku merasa nyaman? Entahlah...

Beribu sms telah kita kirimkan. Handpone pertama hasil jerih payahku bekerja selama ini menjadi salah satu saksi canda tawa kita. Betapa indah waktu yang kita lewati dengan perasaan membuncah yang tak terlukiskan. Keinginan untuk bertemu begitu kuat, membuatku berani melangkahkan kaki ku kembali. Berani menyapa kenangan-kenangan manis itu. Berani bermain-main dengan hati yang gundah gulana. Berani menantang segala kemungkinan yang singgah di hatiku. Tapi apakah keberanian ini berani menyentuh hatimu? Entahlah...

Sehari sudah aku bertemu denganmu, pertemuan singkat di suatu senja. Panorama indahnya senja terpatri dengan manis di hatiku terbingkai oleh indahnya melodi-melodi manis semanis madu. Aku mengutuk diriku sendiri yang terdiam kaku tak tau apa yang akan ku katakan, aku sibuk menenangkan perasaan ini, sibuk dengan berjuta pertanyaan yang tak satu pun terucap dari bibirku. Satu asa yang kutitipkan, semoga senyum ini bisa mewakili setiap kata yang inginku ucapkan. Entahlah...

Malam berganti pagi tapi cerahnya surya yang menyinari pagi ini tak dapat menandingi sinarmu yang menghangatkan sanubariku. Hari berganti bulan tapi hati ini terdiam beku terpenjara oleh seribu tanya yang tak terucap. Apa yang harus ku lakukan? Entahlah...




"Teringat masa lalu di tengah dinginnnya suasana kantor@HRZ"

Tuesday, December 09, 2008

“MAMA”

Sejauh apa pun kaki melangkah, secepat apapun angin membawaku pergi dan semerdu apapun syair kehidupan melenakanku... aku akan kembali mendekap hangatmu, memeluk erat kasihmu, menjemput senyummu dan bernari bersama binar indah matamu... mama.

"morning blue... jd kangen mama..."

Tuesday, December 02, 2008

MySTORY : Daik Lingga...

Hidup berpindah-pindah adalah hal yang biasa buatku. Setelah menamatkan kuliahnya ayahku di tugaskan di Pulau Daik tepatnya Kabupaten Lingga. Kabupaten ini terdiri dari tiga gugusan pulau besar, Senayang di sebelah utara, Lingga di tengah-tengah, dan Singkep di ujung selatan. Perjalanan yang kami tempuh dari Jakarta cukup melelahkan. Setelah menggunakan pesawat selama dua jam menuju Bandara Kijang di Pulau Bintan kami harus menuju Pelabuhan Tanjung Pinang di ibu kota Pulau Bintan ini dan kami masih harus bertahan menahan goncangan ombak Laut China Selatan menggunakan kapal penyeberangan yang biasa disebut feri selama tiga jam menuju Pulau Singkep di Selatan. Selanjutnya masih harus pasrah berganti kapal dan menambah satu jam lagi pelayaran, kembali menuju utara. Dan tibalah kami di sebuah pulau yang sunyi dan sepi. Lalu lalang kendaraan akan terlalu banyak bila harus dihitung dengan jari. Sepeda motor hanyalah di miliki oleh beberapa pejabat pemerintah. Jika malam tiba, pulau ini laksana tak berpeghuni, dari kejauhan terlihat semburat samar-samar cahaya petromak penduduk kampung. Beruntunglah keluargaku masih mendapatkan listrik dari generator yang di sediakan di lingkungan Puskesmas. Kehidupan mereka tergantung pada hasil panen sagu, karet, kelapa, cengkeh, lada, coklat dan kopi. Lingga merupakan satu-satunya pulau penghasil sagu, pada tahun 2002 produksi sagu tak kurang dari 248 ton pada areal 983 hektar.

Dipulau ini aku mengenyam pendidikan dasarku. Setiap hari aku bersemangat mengayuh sepeda roda tigaku menuju taman kanak-kanak ku tercinta. Walaupun harus berkejaran dengan anjing tetangga dan jantung berdegup kencang menyaingi suara gonggongan anjing-anjing itu tetapi tak menyurutkan semangatku untuk tetap mengayuh sepedaku setiap pagi. Taman kanak-kanak ini sangat sederhana, hanya ada satu ayunan dan satu prosotan yang harus kami mainkan bergantian. Atau harus puas hanya dengan memainkan gundukan pasir. Disini juga pertama kali aku memiliki cita-cita... menjadi ibu bidan.


"tengkiyu God you've given me chances to see the other side of your world"

Monday, December 01, 2008

MySTORY : "MY HERO"

Faith is taking the first step even when you don't see the whole staircase. ~Martin Luther King Jr.


Aowww... tanganku di cubit setan-setan kecil yang berada di dekatku, aku tak tau yang mana, mereka berbisik-bisik dan tersenyum-senyum malu. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Wajah-wajah polos itu memancarkan keingintahuan yang amat sangat, penuh selidik tapi tetap bersahabat. Siang ini aku mengikuti ayahku bertugas. Dengan sabar beliau mendengarkan keluhan kesah orang-orang di pulau-pulau terpencil itu, bagi mereka seorang dokter adalah orang yang serba bisa, mulai dari menyembuhkan penyakit hingga memberikan solusi terbaik bagi masalah yang terjadi dikampung mereka. Orang-orang ini sangat antusias menemui kami, entah untuk berobat atau sekedar ingin melihat kedatangan kami di rumah kepala desa. Mungkin bila di banding-bandingkan, ayahku setara terkenalnya dengan P. Ramle bintang film terkenal dari negeri jiran Malaysia yang film-filmnya menghiasi televisi hitam-putih kesayanganku. Lebih mudah menangkap sinyal frekuwensi negeri jiran tersebut daripada tayangan televisi Republik Indonesiaku tercinta. Aku pun ikut tersenyum melihat anak-anak kecil berdesakan di dekatku, mereka ingin melihatku lebih dekat, bahkan sedekat kulit dan bajuku.

Hari telah menjelang sore, sudah tiga pulau yang kami kunjungi. Ayahku memutuskan untuk kembali ke puskesmas dan melanjutkan kunjungannya esok hari. Ikan-ikan kecil mengikuti perahu motor yang membawa kami. Perahu ini biasa di sebut pompong dikerenakan bunyi mesin motor yang mendorong perahu kayu ini seperti pemain gendang yang patah hati menggebuk ember pecah, seperti suara merdu penyanyi rock yang kena radang tenggorokan. Perahu ini hanya dapat memuat empat sampai lima orang ditambah seorang sang juru kemudi yang dengan sigap mengendalikan perahu membawa kami membelah sungai-sungai berair jernih dengan pohon-pohon bakau dikiri dan kanannya menuju satu pulau dan berpindah ke pulau yang lainnya. Perahu inilah satu-satunya alat transportasi yang bisa di gunakan didaerah beribu pulau ini.

Ayahku adalah sosok laki-laki biasa, sama biasanya seperti nelayan yang berjuang mencari ikan di laut, atau toke toko kelontong di pasar, atau penjaga kebun durian di halaman belakang puskesmas tempat ayahku bertugas. Mereka adalah orang-orang biasa yang berjuang untuk hidup tanpa mengeluh. Ayahku ditinggal kedua orang tuanya ketika beliau masih kecil, hidup berpindah dari keluarga yang satu dan keluarga yang lain membuatnya tak takut untuk menghadapi cobaan demi cobaan. Ayahku pernah bercerita, dulu beliau sebatang kara terlunta-lunta di Jakarta setelah menamatkan sekolah tinggkat lanjutnya. Hijrah ke Jakarta mengadu nasib di ibukota adalah satu-satunya pilihan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Beliau di terima di sebuah peguruan tinggi negeri ternama di Bandung, Institut Tehknologi Bandung, mendengar namanya saja sudah merinding aku dibuatnya. Tanpa pikir panjang ayahku melarikan diri ke Bandung, menjadi seorang Insinyur, mungkin itulah yang terpikir oleh beliau pada saat itu. Setelah mengikuti tahap-tahap penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi tersebut, ayahku mendapat kabar yang mengejutkan dari temannya, beliau dinyatakan lulus penyeleksian di perguruan tinggi di Jakarta, Universita Indonesia. Dengan suka cita kembalilah ayahku ke Jakarta dengan pilihan terakhirnya untuk menjadi dokter.


"may be i am not a good girl like your wishes... but you always be my hero"